UU ITE: Pedang Bermata Dua bagi Kebebasan Pers
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hadir sebagai payung hukum di era digital, bertujuan menjaga ketertiban dan mencegah kejahatan siber. Namun, di balik tujuannya yang mulia, sejumlah pasalnya kerap menjadi sorotan karena berpotensi mengancam fondasi kebebasan pers di Indonesia.
Problem utama terletak pada pasal-pasal yang multitafsir dan elastis, khususnya terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Pasal-pasal ini rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik, termasuk kritik yang disampaikan melalui karya jurnalistik. Bagi pers, hal ini menciptakan risiko kriminalisasi terhadap produk jurnalistik yang kritis, investigatif, atau yang mengungkap fakta-fakta yang tidak disukai pihak tertentu.
Akibatnya, muncul fenomena "chilling effect" atau efek mengerikan, di mana jurnalis cenderung melakukan sensor mandiri (self-censorship) demi menghindari jerat hukum. Rasa takut dipidanakan dapat menghambat kerja pers dalam membongkar fakta, mengawasi kekuasaan, dan menyampaikan informasi penting kepada publik. Ini secara langsung mengancam hak publik untuk memperoleh informasi yang akurat dan beragam, serta melemahkan fungsi pers sebagai pilar demokrasi dan pengawas kekuasaan.
Meskipun UU ITE telah mengalami beberapa kali revisi, kekhawatiran terhadap dampaknya pada kebebasan pers masih tetap ada. Penting bagi penegak hukum untuk mengedepankan prinsip kebebasan berekspresi dan hak publik atas informasi, serta membedakan antara informasi yang sah sebagai produk jurnalistik dengan tindakan pencemaran atau provokasi. Kebebasan pers adalah esensial untuk demokrasi yang sehat, dan UU ITE tidak boleh menjadi alat pembungkamnya.











