Lingkungan Sosial: Ladang Subur Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah isu kompleks yang akar masalahnya seringkali jauh melampaui konflik personal antara dua individu. Lingkungan sosial di sekitar kita, dengan norma, nilai, dan ekspektasi yang dianutnya, dapat menjadi "ladang subur" yang memupuk, bahkan memperparah, kasus KDRT.
Beberapa faktor lingkungan sosial yang signifikan meliputi:
- Normalisasi Kekerasan: Di banyak komunitas, KDRT masih dianggap sebagai "urusan rumah tangga" atau "aib keluarga" yang tidak boleh dicampuri. Pandangan ini menciptakan iklim di mana kekerasan dianggap sepele, bahkan dibenarkan, sehingga korban sulit mencari bantuan dan pelaku merasa tindakannya tidak akan mendapat sanksi sosial.
- Budaya Patriarki dan Ketidaksetaraan Gender: Sistem nilai yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan dan perempuan pada posisi subordinat secara inheren menciptakan kerentanan bagi korban perempuan. Stereotip gender yang kaku, seperti "laki-laki harus kuat dan tidak boleh menunjukkan emosi" atau "perempuan harus patuh", dapat memicu frustrasi dan kontrol berlebihan yang berujung pada kekerasan.
- Minimnya Dukungan Sosial dan Isolasi: Lingkungan sosial yang tidak memiliki sistem dukungan yang kuat bagi korban KDRT (misalnya, tidak ada lembaga bantuan, tetangga yang acuh tak acuh, atau keluarga yang menyalahkan korban) membuat korban merasa terisolasi. Rasa malu dan takut akan stigma sosial seringkali memaksa mereka untuk tetap diam dan bertahan dalam situasi yang abusif.
- Paparan Kekerasan Sejak Dini: Anak-anak yang tumbuh di lingkungan di mana mereka menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga (antara orang tua atau anggota keluarga lain) cenderung menormalisasi perilaku tersebut. Ini dapat membentuk persepsi bahwa kekerasan adalah cara yang diterima untuk menyelesaikan masalah, sehingga meningkatkan risiko mereka menjadi pelaku atau korban di masa depan.
- Tekanan Ekonomi dan Sosial: Ekspektasi masyarakat terkait peran pencari nafkah, status sosial, atau kebutuhan materi, jika tidak terpenuhi, dapat memicu stres ekstrem. Lingkungan yang tidak memberikan saluran sehat untuk mengelola tekanan ini bisa membuat individu melampiaskan frustrasi melalui kekerasan dalam rumah tangga.
Singkatnya, lingkungan sosial bukan sekadar latar belakang, melainkan elemen aktif yang dapat memupuk atau meredam KDRT. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan fundamental pada norma dan nilai masyarakat. Membangun komunitas yang menolak kekerasan, mendukung korban, dan menuntut akuntabilitas pelaku adalah langkah krusial untuk memutus mata rantai kekerasan dalam rumah tangga.