Di Balik Tirai Budaya: Mengapa Kekerasan Seksual Marak di Sekolah?
Kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah bukan sekadar fenomena individual, melainkan cerminan dari akar masalah sosial budaya yang kompleks dan seringkali tersembunyi. Memahami faktor-faktor ini krusial untuk memutus rantai kekerasan dan menciptakan lingkungan pendidikan yang aman.
1. Dominasi Gender & Norma Maskulinitas Toksik:
Budaya patriarki menempatkan laki-laki pada posisi superior, seolah memberi hak untuk mendominasi, sementara perempuan dan kelompok rentan lain diposisikan lemah. Norma maskulinitas toksik yang mengagungkan kekuatan dan agresi tanpa empati, seringkali mendorong pelaku merasa berhak melakukan kekerasan, sementara korban merasa tak berdaya dan terintimidasi.
2. Budaya Diam & Stigma Korban:
Lingkungan sosial seringkali mendorong budaya diam yang dipicu rasa malu, takut, dan stigma terhadap korban (victim blaming). Korban kerap disalahkan atas apa yang menimpanya ("pakaiannya terlalu terbuka", "menggoda"), membuat mereka enggan melapor, mencari bantuan, dan bahkan cenderung menyalahkan diri sendiri. Stigma ini menjadi tembok tebal yang melanggengkan kekerasan.
3. Minimnya Edukasi Seksualitas Komprehensif:
Kurangnya pendidikan seksualitas yang benar, terutama tentang konsep persetujuan (consent), batasan tubuh, dan hak-hak individu, menyebabkan kurangnya pemahaman yang krusial bagi siswa dan bahkan sebagian pendidik. Ini membuat mereka kesulitan mengidentifikasi, mencegah, atau merespons kekerasan seksual dengan tepat.
4. Normalisasi & Impunitas:
Perilaku pelecehan, seperti candaan berbau seksual atau sentuhan tidak pantas, seringkali dianggap "biasa" atau "sekadar iseng", sehingga menumpulkan kepekaan dan menormalkan tindakan kekerasan. Ditambah dengan lemahnya sistem penanganan, sanksi yang tidak tegas, atau bahkan upaya menutupi kasus demi reputasi lembaga, menciptakan budaya impunitas yang membuat pelaku merasa aman dari konsekuensi.
Mengatasi kekerasan seksual di sekolah memerlukan lebih dari sekadar penindakan kasus per kasus. Ini menuntut perubahan mendalam pada nilai-nilai sosial budaya, penguatan edukasi, penciptaan lingkungan aman yang berpihak pada korban, dan komitmen seluruh pihak untuk memutus rantai impunitas. Hanya dengan demikian, sekolah dapat menjadi tempat yang benar-benar aman bagi setiap individu.