Berita  

Isu pengelolaan sumber daya air dan konflik agraria

Air Mata di Tanah Konflik: Ketika Sumber Daya Air dan Agraria Saling Membara

Indonesia, dengan kekayaan alam melimpah, sering dihadapkan pada ironi pahit: sumber daya vital yang seharusnya menopang kehidupan, justru menjadi pemicu konflik berkepanjangan. Di antara sekian banyak masalah, kombinasi isu pengelolaan sumber daya air yang buruk dan sengketa agraria adalah "bom waktu" yang terus mengancam keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.

Perebutan Air di Tengah Kesenjangan Agraria

Permasalahan ini tidak berdiri sendiri. Keduanya saling berkelindan erat. Di satu sisi, pengelolaan sumber daya air seringkali abai terhadap prinsip keadilan dan keberlanjutan. Kelangkaan air bersih akibat pencemaran, degradasi daerah aliran sungai (DAS), dan perubahan iklim diperparah oleh perebutan alokasi air antara sektor pertanian, industri ekstraktif (tambang, perkebunan), dan kebutuhan domestik. Proyek-proyek infrastruktur skala besar seperti bendungan atau irigasi yang tidak partisipatif seringkali mengubah tata kelola air secara drastis, mengorbankan akses masyarakat lokal dan bahkan memicu penggusuran.

Di sisi lain, konflik agraria merebak akibat ketimpangan penguasaan lahan, ekspansi industri ekstraktif dan perkebunan monokultur, serta pembangunan infrastruktur yang menggusur masyarakat adat dan petani lokal. Ketika lahan-lahan yang menjadi sumber penghidupan dirampas, akses terhadap sumber air di lahan tersebut ikut menjadi sengketa. Air yang seharusnya menjadi hak bersama, kini dimonopoli oleh kepentingan korporasi atau proyek negara, meninggalkan masyarakat di pinggir jurang kekeringan dan kemiskinan.

Akar Masalah dan Dampak Sosial-Ekologis

Akar masalahnya kompleks: tumpang tindih kebijakan, lemahnya penegakan hukum, praktik korupsi, serta orientasi pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis jangka panjang. Masyarakat adat dan petani, yang selama ini menjadi penjaga kearifan lokal dalam pengelolaan air dan tanah, seringkali termarginalisasi dan hak-hak tradisional mereka terabaikan.

Dampak dari perpaduan isu ini sangat fatal. Selain kerusakan lingkungan yang masif (kekeringan, banjir, hilangnya keanekaragaman hayati), muncul pula konflik horizontal antarwarga, kekerasan, kriminalisasi pejuang lingkungan, hingga hilangnya identitas budaya masyarakat adat. Air mata mengalir di tanah-tanah yang seharusnya subur, karena hak asasi untuk hidup dan mengakses sumber daya dasar telah dirampas.

Mendesak Solusi Berkeadilan

Menyelesaikan "bom waktu" ini membutuhkan pendekatan holistik, partisipatif, dan berpihak pada rakyat. Penting untuk:

  1. Pengakuan dan Perlindungan Hak: Mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat serta petani atas tanah dan air.
  2. Tata Kelola Air Terpadu: Menerapkan tata kelola sumber daya air yang terpadu berbasis DAS, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan memprioritaskan kebutuhan dasar masyarakat.
  3. Reformasi Agraria Sejati: Melaksanakan reformasi agraria yang komprehensif untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan.
  4. Penegakan Hukum: Memperkuat penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan dan agraria, serta menindak tegas korupsi.
  5. Pembangunan Berkelanjutan: Mengedepankan model pembangunan yang berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan, bukan sekadar eksploitatif.

Isu pengelolaan sumber daya air dan konflik agraria adalah cerminan kegagalan kita dalam menyeimbangkan antara pembangunan dan keadilan. Saatnya berhenti menanam konflik, dan mulai menanam harapan untuk masa depan yang lebih adil dan lestari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *